Rabu, 13 Februari 2008

KOMPATIOLOGI logika sampler dan translater Bab 1 - 2 (masih bersambung)

I. Sejarah Kompatiologi

Mengapa Kompatiologi Bisa Lahir ?

Sejarah munculnya kompatiologi adalah perjalanan yang tidak disengaja dari seorang Vincent Liong, menghadapi konsekwensi baik dan buruk dari budaya berpikir, berteori, pengkonsepan, berasumsi, justifikasi dan punishment (hukuman).

Ranah yang saat ini dipelajari dan diteliti oleh Vincent Liong dan peneliti kompatiologi lainnya adalah ranah yang masih jarang peminatnya; karena tanpa terjebak untuk berhadapan langsung dengan konsekwensi baik dan buruk dari budaya berpikir, berteori, pengkonsepan, berasumsi, justifikasi dan punishment (hukuman) hinggga melampaui klimaksnya, maka Vincent Liong tidak pernah menemukan bahwa di balik budaya tsb ada ranah keilmuan yang samasekali belum terjamah; yaitu budaya untuk mengukur data mentah yang bisa saja dijustifikasi, dikonsepkan, dipikirkan, diteorikan, tetapi bisa juga tidak.

Peneliti dengan budaya berpikir, berteori, pengkonsepan, berasumsi, dlsb juga tidak pernah ada yang mendapat ide untuk secara serius masuk ke ranah baru ini karena bahan/data jadi (teori, konsep, asumsi, dlsb) tidak bisa diproses mundur menjadi data mentah. Tidak mungkin seorang yang berbudaya ingin mencari kebenaran yang meyakini konsep, asumsi, dan judgement akan berinisiatif memundurkan proses kepada data mentah yang bisa saja dikonsepkan, diasumsikan dan dijustifikasi atau bisa juga tidak diapa-apakan. Penelitian terhadap budaya untuk mengukur data mentah ini dilakukan Vincent Liong sebagai usaha untuk melindungi diri sendiri yang terlanjur terjebak sebagai object justifikasi yang berkonsekwensi mendapat punishment (hukuman) karena dilabel Indigo. Vincent Liong sendiri mampu melakukan penelitian ke budaya data mentah ini karena Vincent Liong tidak suka membaca sehingga pikirannya tidak rumit karena tidak banyak keyakinan akan konsep, teori, asumsi dan judgement yang memper-rumit pikirannya.

Ini alasannya mengapa penelitian kompatiologi dari sejak awal hingga jadi metode dekon-kompatiologi-nya samasekali tidak mengharuskan keberadaan sponsor dan lembaga resmi yang menunjang penelitian; semua biaya penelitian dibayar dari uang jajan Vincent Liong sendiri. Sukarelawan kelinci percobaannya direkrut dari penggemar tulisan Vincent Liong dengan pola hubungan kepercayaan antar teman. Penelitiannya menggunakan metode empiris-pragmatis, eksperimental, bukan teoritis yang membutuhkan perbandingan sejarah teori, karena memang tidak ada bukunya karena ranah kelimuan jenis ini hampir belum pernah ada yang meneliti. Sampai hari ini kompatiologi tidak mengikat komitment dengan lembaga apapun, semua biaya penelitian ditanggung masing-masing peneliti, bahkan ketika kami mendapat sponsor yang mau membelikan buku apapun yang ingin kami beli sebesar US$ 100-200 per bulan, sponsor itu jarang sekali kami gunakan, karena Vincent Liong suka membeli buku untuk dikoleksi tetapi tidak suka membaca.

Tanpa kebetulan-kebetulan berurutan di atas maka anda tidak akan menemukan kompatiologi yang ada saat ini ...

Kehilangan Kebebasan Setelah Menjadi Indigo

Sejarah Kompatiologi diawali dari pelabelan indigo terhadap Vincent Liong pada bulan Juni 2004 yang mengakhiri kebebasan Vincent Liong sebagai manusia biasa yang saat itu seorang penulis, yang menulis catatan hariannya secara rutin di maillist dan dibaca oleh para pembaca tetapnya.

Sebelum menjadi indigo Vincent Liong samasekali tidak pernah berurusan dengan dunia psikologi, metafisika dan spiritual. Apapun yang Vincent Liong tulis diterima oleh pembacanya sebagai karya sastra biasa untuk dicerna dengan kacamata masing-masing pembaca bukan suatu data pribadi yang bisa dicerna untuk judgement psikologis dan punishment sebagai bentuk penyembuhan dengan alasan-alasan yang dianggap legal ala psikologi.

Awalnya Vincent Liong menerima hal itu dengan euforia pada keadaan barunya, hingga membuka praktik sebagai ahli kundalini sampai akhir tahun 2004. Pada akhir tahun 2004 Vincent Liong mulai sadar, bahwa kehidupan semacam ini bukanlah yang diinginkannya. Di kehidupan yang baru ini ’menjadi anak indigo’ Vincent Liong dikultuskan dengan dianggap sebagai anak indigo, orang sakti, utusan tuhan, penyelamat, dlsb yang dianggap dan diperlakukan berbeda dari orang kebanyakan; di sisi lain judgement-judgement psikologi yang sifatnya suka memvonis orang lain sakit jiwa, dan memberikan hukuman entah dengan pengkucilan, penekanan mental, hinggga berbagai teror. Yang paling parahnya setelah lahirnya kompatiologi tahun Agustus 2005 s/d Desember 2007 dengan bahasa halusnya sebagai terapi agar sembuh.

Bila Vincent Liong diam saja maka sejarah Vincent Liong sebelum diberi label indigo lenyap begitu saja digantikan sejarah Vincent Liong versi para ahli psikologi, metafisika dan spiritual yang memiliki kepentingan akan berkembangnya fenomena yang menghebohkan; issue anak indigo.

Tetapi bila Vincent Liong membela diri dengan berusaha melawan pelabelan tsb maka data-data sifat anak indigo yang dipropadgandakan oleh para ahli tsb bisa menjadi alasan bahwa Vincent Liong benar-benar indigo. Misalnya kalau Vincent Liong berusaha memperbaiki issue yang ada tentang kehidupan sehari-harinya, maka para ahli indigo akan mengatakan kalau Vincent Liong sebagai anak indigo memang agresif, tidak mau diatur, dlsb sehingga membenarkan keberlanjutan kegiatan pelabelan tsb. Jadi diam salah, melawan juga salah; Vincent Liong yang tadinya tidak tahu-menau mengenai dunia psikologi, metafisika dan spiritual menjadi terjebak oleh label-label didalamnya.

Mulai awal tahun 2005 setelah berhenti mengajar kundalini, Vincent Liong akhirnya mulai mencari bagaimana cara untuk mendapatkan kembali dirinya yang bebas dari legalisasi pelabelan sebagai anak indigo, dengan konsekwensi judgement dan hukuman-hukuman yang dilegalkan ala psikologi akibat menjadi anak indigo. Pencaharian ini dimulai awal tahun 2005 dan berakhir sekitar pertengahan tahun 2006. Selama pencarian cara tsb Vincent Liong menemukan bahwa masalah ini tidak hanya ditemui seorang Vincent Liong dalam menghadapi fenomena anak indigo yang ditempelkan kepada dirinya, banyak orang dalam kasus berbeda menemui masalah serupa; hubungan yang terputus antara konsep dengan kenyataan yang dialami di kehidupan kita sehari-hari.

Kita hidup pada jaman dimana jenis logika yang sedang mode adalah jenis logika yang bersifat objective; memandang, menilai, mengkonsepkan suatu hal dari luar arena sehingga sulit bersentuhan dengan hal itu sendiri secara langsung di dalam arena. Menonton ilmu dengan membaca, mendengar ceramah, menghafalkannya dan lulus ujian teori tidak membuat seseorang mampu mempraktikkan ilmu itu sendiri tetapi dapat secara legal dianggap ahli. Menonton indigo, menonton spiritual & hal keagamaan, menonton konsep-konsep pengembangan diri, bisa membuat orang tampaknya lulus dalam hal-hal tsb, tetapi secara praktikal di kehidupan sehari-hari hal itu tidak membantu pencapaian apa yang dituju. Mengerti, paham konsepnya bukan berarti mampu menjalani.

Karena persamaan kebutuhan dalam pencarian jalan keluar ini maka banyak bermunculan orang-orang yang bersedia menjadi sukarelawan yang berusaha membantu dengan caranya masing-masing tanpa mendapat imbalan uang, malah justeru mengeluarkan biaya sendiri untuk penelitian dan rela berkorban dengan ikut mengalami teror-teror yang terjadi bersama dengan Vincent Liong dalam pencarian kompatiologi. Penelitian dalam kompatiologi adalah budaya pencarian yang dilakukan tanpa pamrih, bukan sebuah tugas demi mendapat ijasah, mendapat gelar dan ketenaran, tidak meneliti kalau dibayar saja.

Pencarian Vincent Liong dari mulai di cap sebagai anak indigo dengan konsekwensi menghadapi akibat-akibatnya karena menjadi sang terhukum adalah kontemplasi tentang budaya ‘judgement’ (pelabelan). Dalam perjalanan tsb ada saatnya dimana kontemplasi itu sudah melampaui ranah budaya judgement itu sendiri hingga sampai pada ranah data mentah yang sudah terlupakan oleh manusia kebanyakan, sehingga sangat jarang sekali ilmunya.

Walaupun demikian, bila Vincent Liong diberi pilihan untuk mengulanginya lagi atau tidak, mungkin saya akan memilih tidak, sayangnya saat itu Vincent Liong tidak diberi kesempatan untuk memilih. Semoga saja Vincent Liong yang lain (anak yang dicap indigo, autis, ADHD, dlsb yang lain) bisa memilih di masa yang akan datang. Untuk itu perjuangan melawan budaya judgement dengan vonis dan konsekwensi hukuman pengkucilan dan penindasan di ruang publik ala psikologi mainstream tetap perlu dilakukan bukan untuk membasmi tetapi untuk terus mengingatkan.


II. Permasalahan

Jadi bagaimana mencari cara keluar dari pelabelan indigo dan sekaligus menemukan cara menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan budaya logika objective yang tidak dilengkapi dengan bucaya subjective membuat orang terpisah dengan realita kehidupannya masing-masing?

Untuk menggambarkannya dengan lebih sederhana saya coba bercerita tentang anjing kesayangan saya blacky yang tidur sekamar dengan saya.

Anjing yang berIman

Di rumahku, aku memelihara tiga ekor anjing. Yang tidur sekamar denganku namanya blacky seekor anjing tekel jantan berwarna hitam. Yang dua ekor lagi aku belum memberi nama mereka yang seekor mini pincer jantan yang seekor lagi tekel betina, keduanya berwarna coklat.

Blacky aku beli di Mega Mall Pluit sekitar awal tahun 2000, dia lahiran akhir tahun 1999, jadi saat ini (tahun 2007) blacky sudah berumur tujuh tahun. Sedangkan yang due akor lagi kubeli satu tahun kemudian jadi selisih umurnya kira-kira satu tahun.

Sejak kubeli blacky kuperlakukan seperti manusia, kuberi dia lemari kayu untuk bersembunyi tidur siang, dan kursi malas kulit sapi asli untuk tidur malam di kamarku. Selain makan makanan dogfood blacky juga selalu kubelikan sebagian dari apapun yang aku makan. Awalnya aku pikir blacky bisa bersahabt dengan dua anjing baru tsb yang saya beli untuk menemani blacky agar tidak sendirian, tetapi rupanya blacky tidak terima kalau rumahnya didatangi dua anjing baru tsb sehingga dua anjing tsb lebih banyak saya kurung di kandang, blacky terlanjur menganggap dirinya memang layak diperlakukan sebagai manusia dan dua anjing baru itu hanyalah anjing.

Pada awal tahun 2007 blacky sempat menderita sakit prostat disusul kelumpuhan separuh badan mulai dari belakang kaki depan hingga ekor; jadi hanya kaki depan dan kepala blacky yang masih tidak lumpuh. Kontrol diri blacky terhadap penis dan duburnya untuk mengatur buang air kecil dan besar juga tidak terkontrol lagi. Ketika dibawa ke dokter, dokter bilang bahwa penyakit ini tidak bisa diobati sehingga harus disuntik mati, saya selalu menolak.

Alasannya, setelah diteliti lagi rupanya penyakit prostat yang diderita blacky diakibatkan kebiasaan menahan kencing kalau tidur di kamarku. Kalau pintu ditutup ia hanya diam menahan kencing semalaman bila ingin kencing agar tidak merepotkan orang-orang serumah. Bahkan setelah lumpuh kalau dia ingin buang air kecil atau besar blacky selalu berusaha menyeret badannya ke halaman kerikil hingga tubuh bagian bawahnya luka-luka; usaha itupun usaha yang percuma karena ketika ia berpikir ingin buang air besar kelumpuhan sepatuh badannya membuat dia tidak tahu bahwa saat ia berpikir ‘ingin’ saja, sebenarnya ia sudah buang air saat itu juga. Jadi di lantai rumah tampak alur jejak kencing danh tahi blacky dalam usahanya untuk menjadi anjing yang baik yang buang air pada tempatnya. Jadi tiap hari ayah dan pembantu saya menceboki blakcy setiap habis buang air. Blacky untuk sementara dikandangi dulu agar tidak merepotkan orang serumah yang harus mengepel bilamana dia buang air.

Jadi sakit blacky diakibatkan oleh keIman-an blacky untuk tetap berusaha benar dengan buang air pada tempat yang benar, baik di saat badan sehat maupun setelah badan lumpuh akibat ‘iman’ itu sendiri (akibat terbiasa menahan keinginan buang air ketika terkunci di dalam kamar).

Dalam mamalia apapun selalu ada kegiatan mengukur ‘data mentah’ (instingtif) yang diperoleh dari alat pengindraan itu sifatnya seperti alat ukur subjective yang terdiri dari penggaris ukur mulai dari minimum, skala-skala hingga maksimum. Misalnya bicara tentang panas-dingin, terang-gelap, keras-lemah dan tinggi-rendah suara, manis-asam-asin-pahit, berbagai macam bau, dlsb ; semuanya bersifat kira-kira kurang atau lebih dengan toleransi ketidaktepatan tertentu. Pengalaman bertemu dengan perasaan tuannya yang sedang marah atau kesal kalau blacky buang air sembarangan membuat blacky memiliki memori tidak menyenangkan bila buang air sembarangan sehingga membentuk ‘judgement’ (konsep / intuisi) bahwa buang air sebarangan itu salah.

Konsep ‘iman’ seekor blacky untuk tidak buang air sembanrangan adalah ranah konseptual, judgement terhadap data mentah yang bisa diistilahkan dengan intuisi ;dengan ranah instingtif yang berisi data mentah yang bisa dijudgement dan bisa juga tidak.

Ranah Konseptual dengan Judgementnya memiliki konsekwensi terhadap pelanggaran atau ketaatan pada judgement. Pada suatu hari yang saya melepaskan (dua ekor anjing selain blacky) tsb untuk bermain di halaman, blacky yang melihat tsb bersikat tidak bersahabat kepada saya. Blacky tidak mau saya elus-elus, kalau saya sentuh sengaja batuk, sok tidak mau dekat, ketika saya tidur blacky mendekatkan kepalanya, melihat ke arah saya dengan wajah yang bertanya tetapi memaksakan sesuatu.

Bicara tentang kebenaran yang paling penting adalah kebenaran yang paling mendasar (absolut), hal ini tidak selalu bisa dipahami dengan kebenaran logika. Tanpa perlu diajarkan tiap makhluk hidup belajar kebenaran-kebenaran mendasar melalui pengalaman indrawinya sejak keluar dari kandungan ibunya, berhadapkan pada permasalahan-permasalahan yang membuat dirinya mau berkompromi menimbang-nimbang pilihan paket konsekwensi yang ada. Seperti ketika melakukan kesalahan (misalnya buang air sembarangan), maka seekor blacky merasa tidak enak. Blacky bisa memutuskan memilih perasaan yang enak karena pernah mengalami variasi range pengalaman dari paling enak sampai paling tidak enak. Sedangkan logika selalu bicara tentang kesepakatan sekelompok individu dengan hukuman bila melanggarnya tanpa kompromi antara diri sendiri dengan diri sendiri.

Judul tulisan ini ‘Anjing yang berIman’ dicetuskan pertama kali oleh Parakitri Simbolon yang kemarin siang makan bersama saya di resto Taichan Pondok Indah Mall 2. Saat ini blacky sudah sembuh total setelah mendapat perawatan akupuntur dan masih tidur sekamar dengan saya. Mungkin karena saya sering melakukan observasi terhadap anjing saya blacky, maka banyak oknum psikologi yang mengesahkan bahwa saya (Vincent Liong) harus diperlakukan sebagai anjing, dan tidak pantas diperlakukan sebagai manusia. Tetapi jujur saja saya banyak sekali belajar dari seorang blacky (eh salah... seekor blacky).

Antitesis dari Budaya Judgement dan Punishment

Dari pengamatan Vincent Liong terhadap hal-hal di sekitarnya (termasuk juga anjingnya yang berIman) dan merenungkan apa yang terjadi selama proses labelisasi terhadap dirinya. Kondisi terputusnya hubungan antara kegiatan pengkonsepan dan kenyataan yang dialami maka ada beberapa point yang harus diperhatikan dalam mencari penyelesaian dibalik permasalahan ini. Misalnya tentang;

1* Budaya baca, ceramah dan menghafal.

Ketika kita membaca, mendengar ceramah, menghafal, dlsb maka kita cenderung menjadi pentonton. Penonton itu punya kecenderungan menonton secara pasif apa yang terjadi dalam arena, bisa membicarakan kejadian yang ditonton, berkomentar memberi penilaian. Tetapi karena tidak di dalam arena maka tidak mendapat kesempatan untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam arena.

Mengalami berbeda dengan menonton, kalau anda mengalami sesuatu maka anda tidak mendapat ceritanya dari orang lain. Pengalaman itu cuma perubahan-perubahan pada apa yang kita rasakan yang ‘bisa naik atau turun’ (binair) pada masing-masing alat indera kita seiring dengan perjalanan waktu. Antara ekstrim maksimum dan minimum ada ruang abu-abu yang berisi banyak skala-skala yang tidak terhingga banyaknya.

Dalam menghadapi hal di luar diri kita, kita harus memilih satu diantara dua hal ini; Kalau kita sudah mendengarkan cerita, teori, dlsb tentang sesuatu maka walaupun kita berhadapan langsung dengan sesuatu itu, maka kita tidak bisa lagi mengalaminya secara apa adanya. Sebab cerita, teori, dlsb telah mengisi pikiran kita sehingga kita memiliki asumsi atas sesuatu yang kita alami tsb. Apa yang kita anggap sebagai pengalaman kita hanyalah sugesti diri kita sendiri atas asumsi yang sudah kita terima sebelumnya.

Kalau kita mengalami sesuatu terlebih dahulu, maka ketika berhadapan dengan cerita, teori, dlsb tentang sesuatu itu, maka pemahaman kita akan menjadi amat sangat sederhana dibanding cerita, teori, dlsb yang dibaca, diceramahkan dan dihafalkan sehingga kita menjadi malas bercerita dan berteori.

Data mentah seperti misalnya pengalaman indrawi yang apa adanya bisa diproses menjadi konsep, teori, asumsi, dlsb ;tetapi bisa juga tidak. Data matang (konsep, teori, asumsi, dlsb) tidak bisa diproses kembali menjadi data mentah.

2* Menggunakan kata-kata

Alat penyampaian yang paling banyak digunakan adalah kata-kata. Untuk menjelaskan sesuatu dengan konsep, teori, dlsb kata-kata memang alat yang paling mudah. Yang menjadi masalah kata-kata itu memiliki ruang pemaknaan yang terbatas. Bilamana kata-kata memiliki ruang pemaknaan nol dimensi, maka ada garis yang memiliki ruang pemaknaan satu dimensi (titik minimum sampai titik maksimum), gambar yang memiliki ruang pemaknaan dua dimensi (panjang dan lebar), bangunan ruang tiga dimensi yang memiliki ruang pemaknaan tiga dimensi (panjang, lebar dan tinggi), juga hal-hal yang ruang pemaknaannya memiliki dimensi yang lebih besar dari tiga dimensi (lebih kompleks) seperti misalnya rasa dan perasaan.

Semakin luas dimensi pemaknaannya, maka semakin dalam (subjective) kita mengalami sesuatu, semakin sempit dimensi pemaknaannya maka semakin terkonsep, terkotak-kotakkan (objective) sesuatu yang kita amati. Seorang yang mengamati sesuatu dari luar bisa banyak bercerita tentang sesuatu dengan kata-kata tetapi tidak mengalaminya. Seseorang yang mengalami sesuatu, akan sulit menceritakan sesuatu tsb dengan kata-kata tetapi paham benar tentang sesuatu dan mampu melakukannya.

3* Budaya Objective

Berbagai dimensi ruang pemaknaan yang ada misalnya kata-kata, angka, gambar, hingga bagunan tiga dimensi memberikan informasi yang sifatnya objective. Bila kita menonton sebuah film, ceramah dengan kata-kata, dlsb kita dibiasakan untuk menonton dengan sudah dihadirkan pemain utama, good cop, bad cop, dlsb hingga tokoh-tokoh figuran yang paling tidak penting dengan pola hirarki dari yang paling penting hingga yang paling tidak penting dengan sangat jelas. Begitu juga dengan gambar dan bangunan tiga dimensi menyuguhkan informasi bagi kita dari yang paling terlihat hingga yang paling tidak terlihat. Untuk bisa mendapat kebebasan memilih object utama secara bebas terhadap object utama lain yang juga bisa dipilih dengan bebas maka data harus ditampilkan dengan format data mentah yang bisa dibandingkan posisi subject data yang satu terhadap subject data yang lain tidak selalu harus memiliki titik nol yang bersifat ‘universal’ (berlaku umum), ini yang sering Vincent Liong istilahkan dengan pengukuran subjective.

4* Tidak adanya ‘Kalibrasi’ (penyesuaian individual)

Menyamaratakan posisi sudutpandang masing-masing manusia dengan mengabaikan posisi subject data/manusia satu dengan yang lain adalah cara paling mudah untuk menjadi pengajar karena bisa dibuat materi pengajaran yang amat sangat standart dengan kesimpulan dan alasan-alasan yang standart sehingga sulit sekali untuk dikritisi. Permasalahannnya manusia sebagai makhluk yang subjective dan individual dalam kenyataannya memiliki posisisi subjectivitas/individualitasnya masing-masing satu terhadap yang lain.

5* Derajat guru dan murid

Salah satu hal yang membuat adanya jarak antara mengerti dan mengalami adalah karena ada jarak hirarki yang jelas antara guru dan murid. Yang satu mengkondisikan diri aktif sebagai subject pelaku, dan yang satu lagi harus mengkondisikan diri pasif sebagai object penderita. Seorang pemain utama dan seorang pemain figuran. Kondisi mengalami di dunia nyata hanya bisa terjadi bilamana keduabelah pihak dapat memiliki inisiatif untuk menjadi; aktif sebagai subject pelaku, maupun pasif sebagai object penderita.

6* Sistem pendidikan No Noice

Ketika kita masuk ke dalam ruang kelas sejak TK hingga di bangku kuliah, juga pada program-program pengembangan diri entah berbau psikologi, metafisika atau spiritual kita masuk pada suatu ruang yang dikondisikan ‘no noice’ (tanpa gangguan). Kalau seseorang mau belajar maka membutuhkan tempat yang sepi, kalau perlu di kondisi sendirian di dalam kamar. Kalau di ruang kelas pun harus ada satu guru/orang saja yang berbicara, sisanya mendengarkan. Kalau lebih dari satu orang yang berbicara dalam waktu yang sama maka dianggap mengganggu proses belajar. Timbul kecenderungan untuk satu pendapat, bilamana ada pendapat yang berbeda maka dianggap gangguan yang harus dibasmi.

Kalau proses pembelajaran dilakukan di ruang full of noice (kondisi dimana gangguan alami tidak dihilangkan) seperti pada dekon-kompatiologi, maka banyak factor yang hilang pada kondisi pembelajaran no noice dapat muncul di sini. Kondisi alamiah itu selalu tidak pernah ideal, selalu ada paket baik-sekaligus-buruk pada pilihan satu dengan yang lain, segalanya serba abu-abu. Bilamana ekstrim baik atau buruk hanyalah dua titik ekstrim, ruang abu-abu ini begitu luas dengan banyak kemungkinan yang ada di posisi-posisi, skala-skala di dalamnya. Kenyataan itu bukan baik atau buruk tetapi keluasan kemungkinan di ruang abu-abu. Sejarah ditentukan oleh siapa yang ada di dalam arena. (“History belongs to those who are in the arena” – Teddy Rosevelt).

7* Terpelajar dan Belum Terpelajar

Orang yang terpelajar itu menyimpan segala ilmu, konsep, teori, pendapat, judgement dengan sudut pandang tertentu atas hal-hal di sekitarnya di dalam pikirannya sehingga dirinya dapat merasa terpelajar. Seperti gelas yang diisi dengan segala macam cairan sehingga cepat menjadi penuh. Permasalahannya, semakin banyak terisi maka semakin penuh, setiap gelas memiliki batas maksimum isinya, semakin mendekati penuh maka semakin rumit dan kompleks kerja pikirannya.

Kompatiologi mencoba mencari jalan keluar dengan membuat yang terpelajar menjadi belum terpelajar. Bagaimana caranya? Orang tepelajar menyimpan di ingatannya berbagai macam ‘data matang’ (judgement, teori, ilmu, pendapat, dlsb) sehingga lama-lama menjadi jago berkonsep tetapi sulit mengimplementasikannya karena terlalu rumit karena terlampau banyak pertimbangan sehinggga bimbang dan pada akhirnya hanya bisa bicara saja tidak melakukan apa-apa. Pengguna Kompatiologi tidak menyimpan konsep, pemikiran apa-apa di dalam pikirannya, yang disimpan hanya ingatan-ingatan pengalaman ‘data mentah’ (panas-dingin, senang-sedih, percaya-tidak percaya, nyaman-tidak nyaman, tenang-gelisah, dlsb) yang bisa digunakan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Ketika dibutuhkan maka memori data-data mentah itu bisa menghasilkan konsep, cara yang praktis, dlsb untuk penyelesaian masalah saat itu juga, setelah tidak diperlukan lagi maka konsep tsb tidak perlu membebani pikiran lagi.

Semua bermula dan berakhir pada “History belongs to those who are in the arena” kata Teddy Rosevelt. Apa yang dialami di dalam arena tetap tidak mampu diwakilkan di ruang kelas atau di pikiran satu orang manusia yang individual dan terfokus di satu kemungkinan posisi sudutpandang saja.

Permasalahan-permasalahan di atas adalah point-point yang berusaha saya jawab dalam kontemplasi saya hingga akhirnya saya menemukan yang saat ini saya namakan kompatiologi, dengan metode dekon-kompatiologi -nya.